dream as if you'll live forever and live as if you'll die tomorrow

Senin, 18 Juni 2012

Hiruk Pikuk Pilkada Jakarta

Hiruk Pikuk Pilkada Jakarta dan Ilusi Kesejahteraan Permasalahan Jakarta begitu kompleks. Jurang antara si kaya dan si miskin terlihat semakin jelas. Sementara hari ini, Jakarta dihadapkan dengan hiruk pikuk Pemilukada atau Pilgub DKI. Mampukah Pilgub DKI menjawab tentang kesejahteraan yang sudah dirindukan oleh sebagian masyarakat miskin kota Jakarta atau ianya hanya menjadi ilusi dari manisnya janji-janji politik pasangan calon yang bertarung pada Pilgub DKI. Melihat dari aspek historis, lahirnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada melalui perwakilan oleh DPRD sebagaimana yang pernah diamanatkan Undang-undang No 22 Tahun 1999. Namun, seiring perjalanan pada akhirnya semakin kentara dengan implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008. Berpijak pada peraturan atau perundang-undangan Pilkada pun digelar secara langsung di Indonesia mulai Juni 2005. Ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dipimpin oleh Moh Ma’ruf. Pada tahun 2005 ini, berdasarkan sumber yang diekspose Depdagri Pilkada telah dilaksanakan di 226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota dan 179 propinsi yang diawali Pilkada di Kutai Negara, Kalimantan Timur dan ditutup Pilkada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Seiring perjalanan dan pelaksanaan Pilkada dan proses evaluasi yang dilakukan, ternyata Pilkada yang esensinya melahirkan pemimpin yang kuat ditingkat lokal dan diharapkan mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan ternyata belum mampu membuktikan kedua hal itu kecuali hanya dibeberapa daerah tertentu saja. Pilkada ternyata melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang pragmatis dan membangun dinasti korup. Esensi kesejahteraan masyarakat hingga saat ini seolah-olah hanya menjadi mimpi di siang bolong. Wajar kemudian, muncul wacana untuk mengembalikan Pilkada langsung ini kepada DPRD khususnya untuk kepala daerah tingkat I atau propinsi. Bagi penulis, ini merupakan suatu wacana kemunduran demokrasi lokal. Seharusnya, kita harus mencari penyakit penyelenggaraan Pilkada dan kemudian membenahinya menjadi sebuah penyelenggaraan yang lebih mendekat pada titik kesempurnaan bukan kemudian mengembalikan ke format awal. Mencari Akar Masalah Menurut Leo Agustino (2009: 121) dalam bukunya, “Pilkada dan Dinamika Politik Lokal”. Ada sebelas permasalahan yang menyelimuti Pemilukada. Namun disini saya hanya menjelaskan 4 saja. Pertama tidak akuratnya data pemilih. Masalah data pemilih merupakan masalah yang mendasar dan hampir seluruh Pemilukada mengalami ketidakakuratan data pemilih dan pada sebagian daerah menimbulkan gelombang protes. Kedua persyaratan calon yang tidak lengkap. Dalam memenuhi persyaratan calon, terutama yang menyangkut ijazah sering tidak memenuhi persyaratan, seperti ijazah palsu, tidak punya ijazah atau surat keterangan hilang dan persamaan status ijazah setingkat SLTA. Kurang telitinya KPUD dalam melakukan verifikasi berkas administrasi calon dan adanya pengaduan masyarakat terhadap dugaan ijazah palsu atau pernah dijatuhi hukuman yang sering kurang mendapat tanggapan. Ketiga pengusulan pasangan calon dari partai politik. Berbagai kejadian di daerah, permasalahan internal Parpol dalam menentukan pasangan calon membuat pelaksanaan Pemilukada menjadi terhambat. Ada parpol yang memiliki pengurus kembar, ada yang proses seleksi calon tidak transparan sehingga menimbulkan protes pengurus dan ada intervensi dari pengurus pusat ke daerah. Dualisme dukungan ini juga terkadang sempat membuat Pilkada akhirnya diikuti satu pasang calon dan membuat pelaksanaan Pemilukada tertunda. Keempat KPUD yang tidak netral. Faktor kedekatan dan kekerabatan antara penyelenggara Pilkada dan pasangan calon memengaruhi tingkat kenetralan penyelenggara. Selain daripada itu yang sangat dominan kekuasaan penyelenggara yang begitu kuat tanpa dapat dikoreksi oleh instansi manapun maupun pengadilan. Kelima, Panwas Pemilukada terlambat dibentuk. Keenam, money politics atau politik uang. Ketujuh, dana kampanye yang tidak transparan. Kedelapan, mencuri start kampanye. Kesembilan, dukungan PNS yang tidak netral. Dalam berbagai kampanya masih ditemukan PNS yang memihak salah satu pasangan calon dalam banyak praktek terjadi pemberian dukungan kepada kepala daerah yang mengikuti kembali Pilkada (incumbent). Kesepuluh, pelanggaran kampanye dan terakhir atau kesebelas intervensi DPRD. Masalah ini pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak menyetujui pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan berbagai alasan, sehingga berkas hasil pemilihan yang dikirim oleh KPUD tidak diteruskan kepada Gubernur atau Menteri Dalam Negeri, sehingga proses pengesahan kepala daerah menjadi berlarut-larut maupun DPRD tidak mau melakukan siding paripurna istimewa seperti yang terjadi pada pelantikan kepala daerah Kabupaten Boalemo, Gorontalo dan Kabupaten Aceh Tenggara, NAD. Dengan demikian, dari permasalahan di atas perlu dicarikan solusi untuk merajut kembali simpul-simpul permasalahan Pilkada yang kusut. Tentu ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, tapi memang bisa dilakukan jika Mendagri dengan staff-staffnya punya keinginan kuat untuk memperbaikinya dengan melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan riset atau penelitian terkait permasalahan ini. Namun, secara sederhana penulis barangkali yang diperlukan Mendagri adalah memperbaiki dan membenahi peraturan-peraturan yang menyebabkan beberapa konflik di atas. Ilusi Kesejahteraan Semakin baik kualitas penyelenggaraan Pilkada penulis pikir akan melahirkan pemimpin yang kuat dan tentunya akan berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nah inilah yang menjadi harapan kita semua, namun muncul pertanyaan kemudian, Pilkada yang bagaimanakah yang akan melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat? Menjawab pertanyaan ini penulis akan mencoba menjawabnya melalui pendekatan empat elemen penting dalam Pilkada yakni KPUD, Panwas, partai politik dan pasangan calon serta masyarakat yang memiliki hak pilih. Pertama KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Melihat perannya yang begitu besar dalam Pilkada diharapkan KPUD mampu memperlihatkan independensinya dan netralitasnya. Salain itu, diharapkan juga KPUD mampu menjalankan amanah dan tugasnya dengan baik. Beberapa kasus di daerah, terkesan KPUD memihak kepada salah satu pasangan calon dan terkadang juga berat sebelah dalam memberikan perlakuan kepada masing-masing pasangan calon. Jadi, memang bicara kualitas penyelenggaraan Pilkada, KPUD punya peranan yang cukup penting dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat. Kedua Panwas. Peran Panwas kerap kali hanya sebagai simbol seolah-olah penyelenggaraan Pilkada sudah diawasi dengan sempurna dan acapkali laporan-laporan dari Panwas juga relatif tidak didengar karena memang ada aturan-aturan yang melemahkan fungsi Panwas dan pembentukannya juga terkadang terlambat. Sebagaimana yang dikutip Leo Agustino (2009: 133) Pasal 7 Undang-undang No. 32 tahun 2004, Panwas Pilkada dibentuk oleh dan bertanggungjawab serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD. Secara lebih rinci ketentuan ini juga tertuang dalam PP No. 6 tahun 2005 Pasal 104 ayat (2). Menurut pasal ini, DPRD lah yang membentuk Panwas Pilkada sehingga kemudian memunculkan dilema tersendiri dan terkesan Panwas Pilkada jauh dari kesan independent, sehingga keberadaannya membuat nyaris tak bertaji. Anggaplah memang ini suatu takdir yang harus dilakoni dalam rangka memenuhi standari demokrasi yang prosedural, tapi ke depan memang hal ini harus diperbaiki. Ketiga pasangan calon dan partai politik. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita membutuhkan pasangan calon pemimpin yang kuat. Kuat dari berbagai sisi baik politik maupun ekonomi. Pasangan calon harus bermental entrepreneurship dan memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatur birokrasi yang merupakan roda yang menjalankan pemerintahan di daerah. Ini sangat penting, tapi ini juga sangat tergantung dengan peran partai politik, selama ini partai politik kurang mampu memaksimalkan perannya sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat atau kadernya. Terbukti, sebagian besar partai politik lebih menjagokan tokoh-tokoh populer bahkan artis untuk diusung menjadi bakal calon kepala daerah dibandingkan kader sendiri. Inilah titik kelemahan, mesin partai tidak berjalan begitu efektif. Figuritas terkadang menjadi faktor penentu yang menentukan bakal calon kepala daerah bisa menang atau tidak dalam kompetisi. Ke depan barangkali partai politik perlu mengedepankan kualitas pasangan calon dan bisa lebih menghidupkan mesin partainya. Keempat masyarakat pemilih. Nah, masyarakat yang sudah memiliki hak pilih juga harus cerdas dalam menyikapi siapa bakal calon yang akan mereka pilih. Mereka harus benar-benar kenal dengan siapa bakal calon yang akan mereka pilih kelak, tidak hanya sekedar populiritas di media tapi tahu persis apa yang akan dilakukan bakal calon walikota yang mereka pilih, seandainya terpilih menjadi kepala daerah kelak. Kecerdasan masyarakat pemilih ini juga bisa dilihat bagaimana mereka menyikapi politik uang pasangan calon. Sebuah fenomena yang cukup menarik, saat ini pasangan calon yang memberikan uang tidak menjadi sebuah jaminan untuk menang karena terkadang uangnya saja diambil, tapi soal pilihan ternyata tidak bisa dipaksakan. Nah, kekuatan kecerdasan pemilih ini bisa juga mendorong lahirnya kepemimpinan yang kuat yang lebih memprioritaskan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakannya. Setiap elemen di atas memang harus saling dikuatkan, tidak bisa tidak. Jika tidak Pilkada yang diharapkan akan melahirkan kepemimpinan yang kuat dan kesejahteraan hanyalah sebuah khayalan atau ilusi masyarakat pemimpi. Semoga kita memahimanya! http://suar.okezone.com/read/2012/06/13/58/646289/pilkada-jakarta-dan-ilusi-kesejahteraan